Guru disabilitas di sekolah umum: Narasi 1- pendahuluan

Berikut adalah cerita bersambung pengalaman seorang tunanetra yang mengajar di sekolah umum, perguruan tinggi umum dan di lembaga pendidikan non-formal umum. Tulisan ini digerakkan oleh suatu kebutuhan akan adanya informasi tentang “cara-cara lain” yang dapat dilakukan oleh seorang pengajar disabilitas untuk mengajar, mengelola kelas dan tanggung jawab lainnya yang dibutuhkan di kelas-kelas umum. Kata umum di sini berarti kelas-kelas yang dilakukan bukan di dalam sekolah-sekolah luar biasa. Atau dengan kata lain, cerita-cerita mencoba untuk memberikan gambaran dan informasi tentang kondisi di dalam kelas-kelas yang di dalamnya adalah guru disabilitas dan murid-murid non-disabilitas. Tentunya, hal ini adalah sesuatu yang cukup asing bagian sebagian besar masyarakat Indonesia. Perlu saya garis bawahi, bahwa sebelum saya mencoba membuat tulisan ini, saya mencoba melakukan suatu penelitian sederhana. Saya coba mencari informasi tentang keberadaan guru disabilitas di lembaga-lembaga pendidikan umum melalui Google. Namun, hingga laman ke delapan, saya tidak menemukan informasi yang sesuai. Secara umum, informasi yang saya temukan adalah tentang perjuangan untuk mengakomodasi individu-individu disabilitas untuk bisa belajar di sekolah-sekolah umum atau di lembaga-lembaga pendidikan umum atau inklusi.

 

Saya adalah seorang pria kelahiran Jakarta. Saya dilahirkan 34 tahun yang lalu (5 Juni 1982) di suatu Rumah Sakit Umum. Saya dilahirkan dalam kondisi normal. Saya tidak tunanetra ketika lahir. Saya tumbuh dan berkembang secara normal sebagaimana anak-anak pada umumnya.

 

Karena takdir Tuhan, saya kini hanya memiliki sedikit penglihatan pada mata kiri. Saya mengalami kecelakaan ketika usia enam tahun. Saya tertabrak bajaj ketika sedang menyebrang jalan. Kening saya, persis di antara kedua mata, terbentur badan kendaraan tersebut sangat kencang. Benjolan besar muncul di antara kedua mata dan tidak hilang hinga sebulan lebih. Karena tidak mengalami pendarahan, ternyata benjolan tersebut mengindikasikan luka dalam yang cukup serius, tetapi saat itu tidak diketahui. Singkat cerita, ini lah yang menjadi salah satu penyebab robeknya atau lepasnya kedua retina mata dan putusnya beberapa syaraf mata saya dan hilangnya keseluruhan penglihatan mata kanan saya dan hilangnya sebagian besar penglihatan mata kiri saya. Saat ini, sisa penglihatan saya hanya cukup untuk membantu saya berjalan, khususnya ketika masih ada cahaya matahari. Meski demikian, saya juga masih sering mengalami kecelakaan ringan, seperti membentur tembok, mobil, tiang, pohon, dan bahkan terjatuh ke dalam got besar dan dalam.

 

Pengalaman mengajar saya awali di sebuah rumah di lingkungan komplek Departmen Sosial. Ketika itu, di tahun 2002, saya diminta untuk mengajar bahasa Inggris untuk anak kelas 1 Sekolah Dasar yang berpenglihatan normal atau bukan tunanetra. Ia adalah anak seorang karyawan Departmen Sosial di Wyata Guna, Bandung, sebrang GOR Padjajaran, Pasir Kaliki.

Saat itu sebenarnya saya sedang mengikuti program rehabilitasi keterampilan musik. Program rehabilitasi adalah salah satu bentuk program keterampilan untuk individu tunanetra yang bersekolah di Wyata Guna. Selain mengikuti program ini secara formal, dari Senin hingga Jumat, pagi hingga siang hari, saya terus belajar bahasa Inggris di lembaga LIA. Kebetulan koordinator program musik tersebut mengetahui bahwa saya memiliki kemampuan berbahasa Inggris. Kemudian beliau meminta saya untuk mengajar Klara, anakĀ  pertama beliau.

 

Saya mengajar selama kurang lebih 2 jam setiap pertemuan, dan tiga kali dalam seminggu. Ketika itu, saya belum tahu teknologi. Saya belum bisa menggunakan komputer. Ketika belajar di LIA pun saya menggunakan buku braille. Setiap sebelum naik ke level berikutnya, saya biasanya pinjam buku level selanjutnya dan membawanya ke yayasan Mitra Netra untuk ditransfer ke dalam buku braille. Jadi setiap naik level, saya sudah punya bukunya dalam format braille. Karena saya menyukai bahasa Inggris dan menikmati setiap pelajaran di dalam buku LIA dan di kelas, saya selalu membaca semua isi buku tersebut dan selalu menghadiri kursus dengan suka cita. Alhamdulillah, saya selalu memperoleh nilai yang tertinggi di kelas.

 

Karena wawasan dan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris yang sudah cukup lumayan, saya mampu mengajar tanpa buku teks. Saya menerapkan “Direct method”, yang kemudian berkembang menjadi “Communicative Language Teaching” sebuah metode pengajaran bahasa asing yang baru saya pelajari beberapa tahun kemudian. Kami memulai pelajaran dengan kebutuhan berbahasa di dalam konteks yang terdekat. Yakni, di konteks rumah dan keluarga.

 

Pelajaran pertama dimulai dengan benda-benda di ruang tamu. Saya meminta Klara untuk mencatat sejumlah kosakata benda dan warna-warna dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Kemudian saya mendiktekan cara penlulisannya dalam bahasa Inggris. Lalu saya latih cara pengucapannya. Kemudian, saya mulai meraba sejumlah benda di ruang tamu satu persatu sambil mengidentifikasinya dalam bahasa Inggris. “Ini meja, it’s a table, ini meja. What is it?” “it’s a table”. lalu saya tanya langsung “Klara, what is it? (sambil memegang meja)” dia jawab “table” lalu saya bantu “it’s a table”. dia kemudian mengulangi jawabannya dengan lebih lengkap “it’s a table”. “very good. hebat. you’re right. it’s a table. Is it pink? warnanya pink?”. dia jawab “bukan”. “no? it’s not pink?. “Is it black?” dia jawab “ya”. “yes?”. dia respon lagi “yes”. saya bimbing lagi “yes, it’s black”. dia mengulangi jawabannya “yes, it’s black”.

 

Saya berlanjut ke benda lain. “It’s a chair. It’s a chair. What is it, Klara?” dia kemudian menjawab “it’s a chair”. Ternyata cara pengajaran seperti itu mampu membuat Klara langsung memproduksi bahasa Inggris secara benar. dan pelajaran ini sangat kontekstual yang ia butuhkan sehari-sehari sehingga ia dapat menerapkan pelajaran tersebut dengan orangtuanya. Setelah kedua benda itu, kami melanjutkan ke sejumlah benda lainnya di ruang tamu dan ruangan lainnya. Di akhir pertemuan pertama, saya menyadari bahwa metode tersebut tidak hanya mengajarkan bahasa Inggris, tetapi juga membantu dan membimbingnya langsung untuk berkomunikasi dalam bahasa asing yang belum pernah ia pelajari sebelumnya. Mamahnya Klara langsung nampak gembira. Intonasi suaranya menunjukkan bahwa ia puas dan senang sekali dengan kemampuan anaknya yang mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris meskipun masih sangat terbatas dan dalam lingkup yang belum luas. Maklum, baru pertemuan pertama.

 

Setelah kurang lebih dua bulan, kemampuan berbahasa Inggris Klara meningkat pesat. Saya mulai memberikan kebutuhan berbahasa pada lingkup yang lebih luas. yakni, pada lingkup di luar rumah, di lingkup masyarakat yang mulai melibatkan konsep atau istilah yang ia sebenarnya belum tahu. Seperti macam-macam profesi dan jenis pekerjaannya. Dengan bahasa Indonesia yang sederhana, ia mampu memahami konsep profesi dan pekerjaannya. kemudian, kami mulai menggunakan bahasa Inggris. Saya juga sering membuat cerita-cerita dadakan dan meminta Klara untuk mendengarkannya. setelah itu, kami akan berkomunikasi dalam bahasa Inggris seputar cerita tersebut. Alhamdulillah, dengan metode seperti itu, Klara mampu meningkatkan semua aspek bahasa yang dibutuhkan untuk mampu berkomunikasi dalam bahasa asing. Kemampuan mendengar, pengucapan, berbicara, membaca, dan menulis dalam bahasa Inggris terus meningkat secara bertahap seiring waktu berjalan. Mamahnya Klara sempat berkomentar “walaupun gak ada buku rapot dan gak ada nilai, kami seneng banget. malah, saya mah gak butuh rapot. gak butuh nilai untuk Klara. percuma kalo nilai bagus di rapot, tapi sebenarnya gak bisa apa-apa.”

 

Sayang sekali, setelah beberapa bulan mengajar Klara, saya harus ke Jakarta untuk belajar di jurusan Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Negeri Jakarta. Secara singkat, saya Alhamdulillah berhasil menyelesaikan S1 tersebut dalam 7 semester dengan predikat Cum Laude, IPK 3,60. Sebuah perjuangan yang berbuah manis sekali meskipun saya aktif di organisasi dan harus juga mencari uang tambahan untuk kompensasi kondisi sebagai mahasiswa tunanetra. Selanjutnya, saya berhasil mengajar di SMP umum, tempat kursus umum dan beberapa universitas. Pengalaman-pengalaman ini akan coba saya cicil secara bertahap di seri Cerbung berikutnya.

 

Sampai jumpa lagi